LABUHA, nalarsatu.com – Lambannya penanganan kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Saruma Sejahtera, Halmahera Selatan, semakin menuai kritik. Praktisi hukum Sarwin Hi Hakim, SH, menegaskan bahwa kasus ini bukan sekadar penyimpangan administrasi, melainkan telah memenuhi unsur pelanggaran berat yang harus ditangani secara serius oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sarwin menilai, dengan dugaan kerugian negara mencapai Rp15 miliar serta keterlibatan pejabat daerah, kasus ini tidak bisa hanya ditangani secara normatif oleh aparat penegak hukum di tingkat daerah. “Kasus ini jelas masuk dalam kategori korupsi berskala besar sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Jika dibiarkan, ini akan menjadi bentuk impunitas terhadap pelaku kejahatan keuangan,” tegasnya saat diwawancarai pada Sabtu, 22 Maret 2025.
Sarwin menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 11 UU KPK, lembaga ini memiliki kewenangan untuk mengambil alih kasus yang:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
1. Melibatkan penyelenggara negara atau aparat penegak hukum.
2. Menyebabkan kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar.
3. Mendapat perhatian luas dari masyarakat.
“Dugaan penyimpangan dana BPRS Halmahera Selatan jelas memenuhi tiga kriteria tersebut. Jika aparat penegak hukum daerah tidak bertindak tegas, maka KPK harus turun tangan untuk menghindari kesan adanya perlindungan terhadap pelaku,” ujar Sarwin.
Selain UU Tipikor, kasus ini juga berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU. Sarwin menyoroti beberapa pasal krusial yang bisa menjerat para pelaku:
Pasal 49 ayat (1) UU Perbankan, yang mengancam pidana hingga 15 tahun penjara bagi pengurus bank yang melakukan pencatatan palsu atau penyalahgunaan kewenangan.
Pasal 3 dan Pasal 5 UU TPPU, yang menetapkan hukuman berat bagi siapa saja yang menyamarkan atau mentransfer hasil kejahatan dengan ancaman pidana hingga 20 tahun penjara dan denda maksimal Rp10 miliar.
Sarwin menegaskan, mantan Sekretaris Daerah Saiful Turuy dan mantan Kepala BPKAD Aswin Adam, yang sebelumnya telah dicopot dari jabatan oleh Bupati Usman Sidik pada Juni 2023, harus segera diperiksa lebih lanjut. “Pencopotan jabatan bukan bentuk pertanggungjawaban hukum. Jika terbukti terlibat, mereka harus diseret ke pengadilan,” katanya.
Menurut Sarwin, jika kasus ini terus dibiarkan berlarut-larut, akan ada preseden buruk bagi pemberantasan korupsi di daerah. “Jika pejabat tinggi bisa lolos dari jerat hukum hanya karena dilindungi oleh kekuatan politik, maka ini adalah bentuk pembangkangan terhadap sistem hukum. Penegakan hukum tidak boleh tunduk pada intervensi kekuasaan,” tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa pihaknya, bersama elemen masyarakat sipil, siap mengawal kasus ini hingga ke tingkat pusat. “Kami akan melaporkan langsung ke KPK jika dalam waktu dekat tidak ada perkembangan yang signifikan dari aparat penegak hukum di daerah. Negara tidak boleh membiarkan uang rakyat dirampok tanpa konsekuensi hukum!” pungkasnya. (*)