Maluku Utara, Nalarsatu.com – Ketua Wilayah Pelajar Indonesia (PII) Maluku Utara, Hidayat H. Tawari, menyatakan akan melaporkan Risal Sangaji ke Polda Maluku Utara atas dugaan pencemaran nama baik. Pernyataan ini muncul setelah Risal Sangaji diduga memberikan keterangan di media yang menyebut korban pelecehan di Halmahera Selatan sebagai pekerja seks komersial.
Menurut Hidayat, pernyataan tersebut tidak hanya merugikan korban secara moral dan sosial tetapi juga mencerminkan sikap tidak bertanggung jawab seorang pemimpin organisasi. Ia menegaskan bahwa pihaknya akan menempuh jalur hukum guna menjaga martabat korban serta memastikan keadilan ditegakkan.
“Pernyataan yang disampaikan Risal Sangaji berpotensi melanggar hukum, khususnya terkait pencemaran nama baik. Kami akan menempuh jalur hukum agar kasus ini menjadi pelajaran bagi semua pihak agar tidak sembarangan memberikan pernyataan yang merugikan korban,” ujar Hidayat pada Senin, 7 April 2025.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam konteks hukum Indonesia, ada beberapa dasar yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku yang memberikan pernyataan merugikan korban di media:
1. Pasal 27 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 45 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 Jika pernyataan tersebut disebarkan melalui media elektronik, seperti situs berita online, media sosial, atau platform digital lainnya, maka bisa dikenakan pasal ini.
2. Pasal 310 KUHP (Pencemaran Nama Baik) Jika pernyataan tersebut merugikan kehormatan atau nama baik korban dengan menuduh sesuatu yang tidak benar.
3. Pasal 311 KUHP (Fitnah) Jika pihak yang memberikan keterangan tahu bahwa tuduhan tersebut tidak benar tetapi tetap menyebarkannya.
Sementara itu, Bendahara Umum Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PW PII) Maluku Utara, Adela Amran S. Pd., mengecam keras pernyataan Risal Sangaji. Ia menilai bahwa pernyataan tersebut bukan hanya tidak berempati terhadap korban, tetapi juga memperkuat budaya menyalahkan korban dalam kasus kekerasan seksual.
“Sebagai perempuan, saya membaca salah satu berita di media online atas komentar saudara Risal Sangaji dan merasa bagaimana jika saya berada di posisi korban. Risal Sangaji, apakah Anda tidak mencoba melihat dari sudut pandang korban sebelum mengeluarkan pernyataan yang menyudutkan?” ujar Adela pada Wartawan Nalarsatu.com.
Ia menambahkan, seorang Ketua LSM seharusnya memiliki sensitivitas yang tinggi dalam memberikan pernyataan, terutama terkait kasus yang menyangkut martabat seseorang. Menurutnya, pernyataan yang keluar dari Risal Sangaji bukan hanya tidak berlandaskan empati, tetapi juga mencerminkan kurangnya pemahaman terhadap isu kekerasan berbasis gender.
“Seorang pemimpin organisasi semestinya memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi korban, bukan justru memperkeruh keadaan dengan pernyataan yang merendahkan dan menyesatkan publik,” tegasnya.
Adela juga mendesak aparat penegak hukum untuk segera mengambil langkah tegas terhadap Risal Kane guna mencegah kasus serupa terjadi di kemudian hari.
“Kami berharap kepolisian dapat menindaklanjuti laporan ini dengan serius. Jangan sampai ada korban lain yang mengalami perlakuan serupa hanya karena pelaku merasa bebas berbicara tanpa mempertimbangkan dampaknya,” tutupnya. (BM)