Labuha, Nalarsatu.com – Ratusan massa, mayoritas perempuan, yang Tergabung dalam Solidaritas Peduli Kekerasan Perempuan dan Anak, memadati halaman Kantor Pemerintah Daerah Halmahera Selatan, Maluku Utara menuntut respons konkret atas meningkatnya kasus kekerasan seksual di wilayah itu. Di bawah terik matahari, orasi demi orasi menggema, menyuarakan kemarahan dan kepedihan atas ketidakadilan yang menimpa para korban. Salah satu suara paling lantang datang dari Santy Yallo, aktivis perempuan dari Forum Alumni Kohati (FORHATI).
“Kekerasan seksual di Halmahera Selatan sudah di luar batas! Pemerintah harus segera bertindak dan menetapkan daerah ini sebagai zona darurat kekerasan seksual,” tegas Santy dalam orasinya, disambut sorak dukungan dari peserta aksi.
Aksi ini dipicu oleh kasus kekerasan seksual yang terstruktur dan masif di Bacan Timur, yang menambah panjang daftar kejahatan serupa di Halmahera Selatan. Santy menegaskan, penanganan kasus tak bisa hanya bergantung pada kepolisian, sementara pemerintah daerah sekadar menggelar acara seremonial tanpa kebijakan nyata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami mendesak adanya Peraturan Daerah (Perda) khusus yang mengatur tindak pidana kekerasan seksual. Ini bukan hanya isu hukum, tapi juga isu kemanusiaan. Kasus serupa masih menumpuk di Polres Halsel tanpa kejelasan, termasuk pelecehan sesama jenis di Kecamatan Obi yang pelakunya justru seorang pendidik,” ujar Santy.
Santy juga menyoroti lemahnya sistem perlindungan korban. Ia menuding Polres Halsel belum maksimal memberikan rasa aman, sementara pemerintah daerah lamban dalam mengambil langkah konkret.
“Korban adalah bagian dari kita, penderitaan mereka adalah penderitaan kita semua. Kita tidak bisa membiarkan mereka berjuang sendiri!” ucapnya dengan suara bergetar.
Orasi berikutnya datang dari perwakilan Jurnalis Perempuan Halmahera Selatan, Echa Kamarullah, yang menegaskan bahwa upaya perlindungan dan pencegahan harus menjadi prioritas utama pemerintah daerah. Ia menekankan perlunya pembentukan satuan tugas khusus hingga tingkat kecamatan dan desa.
“Kami ingin melihat kebijakan nyata, bukan sekadar janji. Pencegahan harus dilakukan dari hulu ke hilir, termasuk membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang benar-benar bekerja untuk melindungi korban,” kata Echa dalam Aksi Kamis (10/4/2025).
Echa juga menyoroti kurangnya perhatian pemerintah dalam memberikan edukasi kepada masyarakat terkait bahaya kekerasan seksual. Menurutnya, budaya patriarki yang masih mengakar turut berkontribusi pada maraknya kasus yang terjadi.
“Kita butuh pendidikan berbasis gender di sekolah-sekolah, agar generasi mendatang memiliki kesadaran sejak dini akan pentingnya menghormati hak perempuan dan anak. Tanpa itu, kita hanya akan terus berada dalam lingkaran setan kekerasan,” serunya lantang.
Tuntutan massa jelas: Pemda Halsel harus segera membentuk UPTD untuk menangani kasus kekerasan seksual serta memastikan perlindungan korban di setiap tingkatan pemerintahan, dari kabupaten hingga desa. Masyarakat tak ingin lagi melihat korban-korban baru tanpa pendampingan dan keadilan.
Sebagai penutup, Santy mengutip ayat Al-Qur’an yang melarang segala bentuk kezaliman, mengingatkan bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak adalah amanah yang tak boleh diabaikan.
“Dan janganlah kamu berbuat zalim, maka (dengan itu) kamu tidak akan dizalimi.” (QS. Al-Baqarah: 279)
Ia juga menegaskan bahwa perjuangan mereka bukan sekadar aksi, melainkan panggilan moral untuk menegakkan keadilan bagi para korban kekerasan seksual di Bumi Saruma.”Tegasnya.
Penulis: Bahtiar S Malawat
Editor: Nalarsatu.com