Halmahera Selatan, Nalarsatu.com – Waktu terus berjalan, tapi keadilan terasa diam di tempat. Enam bulan sejak laporan dugaan pencabulan terhadap tiga siswi SMA di Pulau Obi masuk ke Polsek setempat, tapi pelaku belum ditetapkan tersangka. Suara desakan pun mulai meninggi.
“Anak-anak kami menanggung luka, tapi hukum justru seakan lupa caranya berjalan,” kata salah satu orang tua korban Azwar, lirih namun tajam.
Pelaku disebut-sebut seorang guru sekaligus pembina kesiswaan di salah satu SMA negeri di Obi. Ironisnya, sosok yang semestinya melindungi justru melukai. Dugaan itu sudah dilaporkan pada 11 November 2024, namun hingga kini belum ada kepastian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Yulia Pihang, S.H., pendamping hukum anak korban dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Maluku Utara, menyebut kasus ini sebagai pengkhianatan terhadap martabat profesi pendidik. Ia menyesalkan tumpulnya respons aparat terhadap dugaan kejahatan yang menyasar ruang paling rapuh dalam dunia pendidikan. “Ini bukan sekadar pelanggaran etik, ini pidana berat,” ujar Yulia, merujuk Pasal 289 KUHP serta Pasal 76D dan 76E Undang-Undang Perlindungan Anak, yang mengancam pelaku dengan hukuman hingga sembilan tahun penjara.
Ia menilai, aparat penegak hukum terlalu berhati-hati atau barangkali ragu dalam menangani perkara ini. “Pertanyaannya: kenapa belum gelar perkara? Dan penetapan tersangka?” katanya.
“Tak hanya pada kepolisian, kritik juga diarahkan pada pihak sekolah dan pemerintah daerah yang dianggap abai. “Kalau sekolah tak lagi menjadi tempat aman bagi anak-anak, pendidikan kita sedang kehilangan jiwanya,” ujar YuliaYulia pada Nalarsatu.com Senin (14/4/2025).
Ia menegaskan bahwa keterlambatan penanganan ini bukan hanya soal administrasi hukum, melainkan soal trauma yang terus mengendap di batin para korban. “Kami tidak akan diam. Negara harus hadir. Hukum harus berpihak pada korban, bukan pada status sosial pelaku,” ucapnya.
YLBH Maluku Utara pun mengajak organisasi Cipayung, LSM, NGO, hingga masyarakat sipil untuk bersuara bersama. “Ini bukan kasus biasa. Ini ujian bagi nurani kita sebagai bangsa,” pungkas Yulia. (WP)