Halmahera Selatan, Nalarsatu.com – Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) Halmahera Selatan mendesak Kejaksaan Negeri (Kejari) Halsel untuk segera menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana investasi Pemerintah Daerah ke BPRS Saruma. Mereka menilai lambannya Kejari dalam mengambil langkah hukum dapat mencoreng citra penegakan hukum di daerah.
“Kasus ini sudah terang-benderang. Aliran dana, pihak-pihak yang diduga terlibat, serta modusnya telah terungkap dalam audit BPKP dan berbagai pemberitaan. Jika Kejari masih ragu, publik bisa mencurigai adanya kekuatan besar yang bermain di balik layar,” kata Ketua GPM Halsel, Harmain, kepada wartawan, Jumat, (18/4/2025).
Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) menilai bahwa Kejaksaan Negeri Halmahera Selatan perlu menunjukkan ketegasan dalam penanganan kasus dugaan korupsi di BPRS Saruma. “Kami menagih janji yang disampaikan pada Januari lalu, setelah pemeriksaan para saksi. Saat itu, Kejari menyatakan telah mengantongi nama-nama terduga dan tinggal menunggu waktu untuk gelar perkara,” ujar Harmain,
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menegaskan bahwa publik tidak bisa terus disuguhi janji tanpa realisasi. “Jangan sampai mengingkari komitmen sendiri. Jangan jilad ludah sendiri dan memberi kesan bahwa hukum hanya tajam ke bawah,” tambahnya. Harmain juga mengingatkan agar Kejari tidak terjebak dalam permainan politik, tekanan elit atau beban moril sehingga bisa melemahkan integritas penegakan hukum.
“Hukum tidak boleh menjadi alat perlindungan bagi elite yang bermasalah. Kejari harus menunjukkan nyali dan profesionalismenya, atau kepercayaan publik akan runtuh,” tutupnya tegas.
Temuan BPKP: Kerugian Negara Rp8 Miliar
Dalam laporan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), ditemukan indikasi kerugian negara lebih dari Rp8 miliar dari total dana investasi sebesar Rp15 miliar yang disuntikkan ke BPRS Saruma. Dana itu diduga disalurkan kepada sejumlah pihak yang memiliki kedekatan dengan pejabat bank dan pemerintah daerah, tanpa melalui proses analisis kelayakan kredit sebagaimana diwajibkan dalam sistem perbankan.
Nama-nama seperti Saiful Turuy (mantan Sekretaris Daerah), Aswin Adam (mantan Kepala BPKAD), Ichwan Rahmat, serta kontraktor Leny Lutfi, kerap disebut-sebut memiliki keterlibatan dalam skema dugaan korupsi di tubuh BPRS Saruma. Menurut aktivis anti-korupsi Harmain, data dan bukti permulaan yang dimiliki penyidik sejatinya telah cukup kuat untuk menaikkan status perkara dari penyelidikan ke penyidikan sejak awal tahun 2023.
“Dengan bukti yang sudah ada, seharusnya penetapan tersangka sudah dilakukan. Ini terlalu lama,” tegas Harmain.
GPM juga mengancam akan menggelar aksi massa jika Kejari tidak menunjukkan progres dalam waktu dekat. Selain itu, mereka tengah menyiapkan upaya hukum untuk mendesak Kejaksaan Agung mengevaluasi kinerja Kejari Halsel.
“Jika Kejari tak segera bertindak, kami bersama jaringan advokat dan pegiat antikorupsi akan membawa kasus ini ke tingkat nasional,” ujar Harmain.
Praktisi hukum Bambang Joisangadji, SH, menegaskan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapus unsur pidana dalam perkara korupsi. Hal itu diatur dalam Pasal 4 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001, yang menyatakan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku.
“Apalagi jika perkara sudah memasuki tahap penyidikan. Proses hukum harus tetap berjalan,” kata Bambang Pada Nalarsatu.com Jumat (18/4/2025) Pukul 11.00 WIT.
Ia menambahkan, penyalahgunaan prosedur kredit juga dapat dijerat dengan Undang-Undang Perbankan, terutama terkait pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam penyaluran dana.”tegas Bambang.